Konperensi Pers Akhir Tahun 2021 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau
Catatan Akhir Tahun 2021 dan Refleksi Dalam Pengendalian Tembakau di Indonesia.

JAKARTA ,INDONESIAN NEWSS.Com -KBIJAKSANAAN SETENGAH HATI: TETAP PRO DAN MENGUNTUNGKAN INDUSTRI ROKOK DAN MEMANJAKAN PEROKOK PEMULA
I. Kebijakan masih tetap pro-industri dan memanjakan perokok pemula
Semua data empiris di bidang pengendalian tembakau sepanjang tahun 2021, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, masih selalu menguntungkan industri rokok dan memanjakan perokok, termasuk perokok pemula.
Kegagalan menurunkan prevalensi perokok pemula (10-18 th) dalam periode RPJMN 2014-2019, dan target untuk menurunkan prevalensi perokok pemula pada periode RPJMN 2014-2019 menjadi 5,4” gagal, sementara pada periode RPJMN 2020-2024 dari 9,1/s menjadik 8,7Y6 diprediksi tak akan berhasil, bilamana kebijakan yang masih pro-industri dan memanjakan perokok tidak dirubah.
Selama periode RPJMN 2014-2019 praktis tidak ada perubahan dalam kebijakan yang selalu cenderung pro-industri antara lain berupa :
– Rokok sebagai zat adiktif masih diperlakukan berbeda dengan NAPZA (narkoba dan zat adiktif lain semisal miras): rokok elektrik yang nyata-nyata berisikan zat adiktif justru beredar lebih bebas dan menyasar generasi kuda. Alasan klasik pemerintah: rokok adalah produk legal sehingga boleh dijual secara bebas.
– Karena kelemahan harmonisasi, sektor kesehatan tetap diperhadapkan dengan dengan sektor pertanian, tenaga kerja, sehingga menghambat semua upaya perbaikan / Revisi peraturan perundang-undangan / kebijakan seperti Revisi UU No.32 Tahun 2002 ttg Penyiaran dan Revisi PP No. 109 Tahun 2012 ttg Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
– Pandemi Covid19 tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan prinsip kehati-hatian terhadap dampak konsumsi tembakau sebagai faktor pemberat dan komorbid, bahkan membiarkan industri memanfaatkannya untuk promosi melalui kegiatan “CSR” palsu mereka.
– Ironi komitmen intemasional dalam SDGs / Pembangunan Berkelanjutan tentang Goal Ja berupa pelaksanaan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sama sekali tak menunjukkan political will pemerintah ketika kini menjadi Ketua G20.
Ada kecenderungan “menggantung” pelaksanaan RPJMN 20202024 dalam pelarangan Iklan, Promosi dan Sponsor, sehingga target penurunan prevalensi perokok pemula pada periode RPJMN.
Pemerintah masih menganggap Cukai rokok sebagai instrumen pendapatan negara dan belum sebagai instrumen pengendalian tembakau. Pemanfaatan yang kurang tepat dari Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau, tidak untuk mengurangi distribusi dan konsumsi
produk tembakau, tapi kembali dimanfaatkan oleh rezim produsen tembakau.
Il. Tujuan konperensi Pres
1. Menyajikan catatan kritis atas peristiwa-peristiwa penting terkait pengendalian tembakau yang patut menjadi sorotan
2. Refleksi dan evaluasi atas capaian penting ikhtiar pengendalian tembakau dan tantangan yang menyertainya
3. Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengendalian Tembakau di Indonesia
Ill. Pembicara, Arah dan Pokok-pokok pembicaraan 1. Ifdhal Kasim SH, Ketua Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Pengendalian Tembakau: “Sikap Koalisi TC atas Lemahnya Kebijakan Pengendalian Tembakau” 2. Dr. Agus Samsuddin, Ketua Majlis PKU / MCCC PP Muhammadiyah: “Refleksi dan sikap Muhammadiyah atas Kebijakan Pengendalian Tembakau” Dr. Mukhaer Pakanna, Tektor ITB AD, Jakarta: “Refleksi kritis atas kebijakan cukai sebagai instrument pengendalian” Nashir Efendi, Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah: “Refleksi atas Kebijakan Perlindungan kepada Generasi Muda sebagai Sasaran Utama Industri Ibu Dra. Tien Sapartinah, Indonesian Institute on Social Development (IISD) : “Kemendesakan Kebijakan dan Strategi Pengendalian Tembakau Merespon Kondisi Kini dan Nant? Moderator : Dr. Sudibyo Markus, Ketua PP Muhammadiyah (2005-2010), Wakil Ketua HubLu PP Muhammadiyah / Adviser IISD
IV. Bekerapa catatan:
Di akhir tahun Menkeu Sri Mulyani mengumumkan kenaikan cukai 12,5Yo sebagai langkah pengendalian. Keputusan yang akan mulai berlaku pada Februari 2022 ini. Meski patut disyukuri, kerugian makro di sektor kesehatan dan pembangunan manusia sebagai tujuan utama kenaikan cukai hasil tembakau, angka 12,594 itu tentu masih jauh dari kategori cukup.
Kajian CHED ITB-AD mendapati bahwa kerugian makro, dihitung berdasar eksternalitas negatif (dampak negatif) yang ditimbulkan oleh tembakau dan produk turunannya di Indonesia tercatat sekitar Rp 727,7 triliun. Kerugian ini terdiri dari kerugian total kehilangan tahun
produktif Rp 374,06 triliun, belanja kesehatan total (rawat | R 13,67 T, belanja kesehatan total (rawat (rawat inap) Rn
jalan) R 1 konsumsi rokok Rp 131,14 T. ) Rp 208,83 T, serta biaya
[29/12 14:25] DAYANK # BARU: harus kembali terganjal dan dikembalikan oleh SekNeg dengan alasan yang justru tidak berfungsinya mekanisme koordinasi dan harmonisasi antara instansi pemerintah. Langkah yang mestinya bisa memperkuat kebijakan dasar pengendalian tembakau oleh pemerintah tersebut, termasuk dalam membantu menekan laju pandemi Covid-19 tersebut, justru mengalami gigi mundur dengan dikembalikannya Ijin Prakarsa oleh Setneg kepada Kemenkes.
Disisi lain kelemahan upaya pengendalian tembakau ini dimanfaatkan oleh industri rokok yang secara agresif-manipulatif mempengaruhi generasi muda untuk menjadi konsumen baru, dengan memberikan banyak sponsorship di bidang olah raga, seni dan budaya dan berbagai promosi dan sponsorship bagi dunia pendidikan tinggi. Merujuk data Nielsen, sepanjang 2020 total belanja industri rokok mencapai angka Rp. 229 Triliun. Angka yang sangat gigantis tersebut bahkan belum termasuk belanja iklan media luar ruang yang juga tak kalah besar. Sementara anggaran untuk iklan layanan masyarakat yang dialokasikan pemerintah melalui Kemenkes hanya berkisar Rp. 86 Miliar.
( Joe Feroz )